50 Persen Karyawan yang WFH Mengundurkan Diri, Kiamat Ekonomi?

Amir Harjo
4 min readApr 10, 2022

Saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Minggu itu adalah minggu kesekian satu persatu rekan kerja saya mengundurkan diri dari tempat saya bekerja. Sebuah keputusan bisnis dari Kanada, membuat harga saham turun tajam. Perusahaan berusaha mengganti fokus dan strategi bisnis. Akan tetapi, di Indonesia strategi tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Karena harga yang kurang bersaing.

Gelombang PHK mengayun satu kali. Ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan perusahaan dan masa depan pekerjaan berdengung setiap hari. Satu per satu rekan pergi. Beberapa bulan kemudian, keputusan final diambil. Perusahaan saya menutup cabangnya di Indonesia. Meninggalkan kesedihan karena beberapa karyawan sudah belasan tahun membangun karir di perusahaan ini.

Diberhentikan dari perusahaan dan memiliki ketidakpastian karir pada usia muda bukan merupakan pengalaman yang menyenangkan.

Salah satu situs berita online, Detik, pada bulan Maret 2022 melansir berita yang berjudul “50% Karyawan Yang WFH Malah Resign Karena Kelelahan”. Berita ini tentu saja mengagetkan. Karena 50% adalah jumlah yang sangat banyak.

Ketika membaca judul artikel ini, saya berasumsi bahwa pengunduran ini bersifat sukarela. Artinya kondisi keuangan perusahaan baik-baik saja. Artinya banyak karyawan yang memilih menjalani jalan terjal untuk hidup tanpa kepastian pendapatan. Berbeda dengan pengalaman saya yang pernah diberhentikan mengalami banyak kekhawatiran. Apakah benar begitu?

Sebagai seorang karyawan yang pernah WFH, saya sangat mendukung dengan adanya kebijakan WFH. Waktu yang ada terasa lebih produktif. Tidak ada waktu yang terbuang percuma selama minimal dua jam sehari hanya untuk terjebak dalam kemacetan. Saya bisa tidur lebih lama, membaca buku, olahraga dan menambah waktu jam kerja jika dibutuhkan sehingga bisa menyelesaikan lebih banyak hal.

Memang dengan bekerja online dari rumah, jam kerja memang naik. Akan tetapi kelelahan ini tidak sebanding dengan kelelahan yang timbul karena antri dan berjejalan di KRL, ataupun terjebak dalam udara Jakarta yang polutif sambil menunggu ojek.

Kehilangan 50% karyawan akan memiliki efek domino yang sangat besar, tidak saja bagi perusahaan, akan tetapi juga akan merembet ke ekonomi. Resiko yang paling awal adalah adanya kekurangan supply tenaga kerja. Ini akan berimbas kepada kenaikan upah tenaga kerja dan inflasi.

Pada jangka panjang, hal ini bisa berakibat ke pertumbuhan GDP, terjadinya resesi dan tentunya membuat usaha akan kesulitan untuk berkembang.

Ekonomi Tumbuh dan Fenomena “The Great Resignation”

Merdeka.com

Membaca laporan dari BPS, ternyata ekonomi Indonesia tumbuh 3.69% pada tahun 2021 lalu. Kekhawatiran mengenai tenaga kerja yang resign dan kemudian mengganggu perekonomian ternyata belum terjadi.

Beberapa pertanyaan mencuat mengenai isi dari artikel tersebut. Seperti apakah fenomena ini sudah, sedang atau akan terjadi? Apakah fenomena ini bersifat lokal atau global? Industri apa yang akan terpengaruh paling besar? Dan pertanyaan terakhir, setelah resign, apa yang akan mereka (para mantan karyawan itu) lakukan?

Sayangnya setelah membaca artikel di Detik, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab. Tidak ada penjelasan kapan terjadinya, skala dari kejadian ini ataupun industri yang paling terpengaruh.

Sumber artikel tersebut adalah webinar dari Jobstreet yang diselenggarakan pada awal Maret 2022. Fenomena ini disebut dengan The Great Resignation. Di artikel tersebut yang lebih banyak ditekankan adalah 50% karyawan yang WFH menjadi memiliki tugas yang lebih banyak dan waktu kerja lebih lama.

Akhirnya, saya menjelajahi mesin pencari untuk mendapatkan informasi yang lebih sahih. Dari situs McKinsey, data mengenai The Great Resignation ini jauh lebih detail. Mereka melakukan wawancara di lima negara yang berbeda, yaitu Australia, Kanada, Singapura, Inggris dan Amerika. Ternyata, 40% dari responden mengatakan mereka berencana resign dalam 3 sampai 6 bulan kedepan.

Angka itu 10% lebih rendah dibandingkan dengan klaim yang ada dalam artikel Detik. Angka itupun berdasarkan jawaban survei yang cukup mengawang-awang. Jawaban survei dalam bahasa Inggris adalah “at least somewhat likely” akan mengundurkan diri atau kalau diterjemahkan menjadi “kayaknya kira-kira”. Kalau menurut saya, yang yakin mau mengundurkan diri jauh lebih kecil dari itu.

Selain itu, survei dilakukan pada akhir tahun 2021. Kemungkinan gelombang pengunduran diri ini akan terjadi pada kuartal 1 dan kedua dari tahun 2022. Tapi belum tidak ada follow up dari McKinsey apakah mereka yang menyatakan mau resign benar-benar resign.

Industri apa yang kira-kira paling terdampak fenomena ini? Saya menemukan informasi dari dari berita online yang lain. Meskipun mengutip sumber berita yang sama, akan tetapi informasinya sedikit lebih detail. Di Indonesia misalnya, industri yang paling terdampak adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mayoritas tidak bekerja online, jadi kemungkinan besar artikel tersebut tidak menceritakan tentang karyawan yang bekerja di sektor ini.

Yang kedua adalah tenaga teknologi. Para pekerja teknologi ini memang tenaga yang paling banyak diuntungkan karena bisa bekerja secara online.

The Great Shifting

Unsplash

Akan tetapi, setelah resign memangnya mereka kemana? Situs Tempo mengutip Anthony Klotz, profesor marketing manajemen dari Texas A&M University, yang pertama kali mempopulerkan istilah “The Great Resignation”. Beliau menunjukkan data dari Jobstreet bahwa setelah fenomena ini terjadi, lowongan kerja meningkat 31% perbulannya. Fenomena ini ternyata diikuti juga peningkatan pelamar 89% per-lowongan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa setelah mereka resign, mereka mencari pekerjaan yang lain. Sayangnya tidak dijelaskan juga untuk negara mana data dari Jobstreet yang dijadikan sebagai sumber.

Dari banyak artikel yang saya baca, tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa 50% karyawan yang WFH resign. Bahwa 50% mereka yang bekerja WFH mengalami kelelahan memang disebutkan. Dan hal itu memicu resign juga disebutkan. Tapi tidak disebutkan angka pastinya. Jadi angka 50% resign ini dari mana? Saya kira ini hanya salah kutip media yang ingin membuat judul yang bombastis.

Saya jadi tergelitik untuk mengutip pernyataan dari Profesor Rhenald Kasali. Fenomena yang terjadi sebenarnya bukan “The Great Resignation” tapi “The Great Shifting”. Orang-orang hanya ingin pindah kerja saja. Jadi seharusnya kita tenang saja, karena kiamat ekonomi belum tentu terjadi. Lagi pula, kalau perusahaan masih baik-baik saja, untuk saat ini lebih baik stay kan?

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Amir Harjo
Amir Harjo

Written by Amir Harjo

Hi, I am Amir Harjo. I like to read. I want to consistently write about things I am curious about. If you like my writing, please claps or comment.

No responses yet

Write a response