Dunia Semakin Baik-baik Saja: Resensi Buku Factfulness
Sebenarnya dunia semakin baik dari tahun ke tahun, tapi insting manusia menghalangi mereka untuk memahami perkembangan ini

(Pernah dipublikasikan di Qureta. Cek di link ini)
Hampir setiap hari kita melihat berita yang memprihatinkan. Banyak terjadi penembakan. Ada penyakit-penyakit baru bermunculan. Bencana alam yang mengakibatkan korban yang tidak sedikit.
Apakah dunia ini makin suram? Apakah dunia ini berlari tanpa kontrol dan menuju titik kehancuran?
Coba jawab pertanyaan berikut ini. Berapa jumlah kematian karena bencana alam telah dalam seratus tahun ini? Apakah naik dua kali? Sama saja? Atau menjadi kurang dari separuhnya?
Itulah pertanyaan-pertanyaan mendasar tapi kurang sosialisasi yang ingin disampaikan oleh Hans Rosling dalam buku Factfulness ini.
Hans Rosling adalah seorang dokter dari Swedia. Berangkat dari pengalaman dia yang cukup panjang sebagai dokter relawan di Afrika dan data-data yang dia kumpulkan sebagai bahan ajar di Karolinka Institute, dia menyimpulkan bahwa dunia semakin baik. Akan tetapi banyak hal yang membuat berita ini tidak tersampaikan.
Untuk jawaban di atas contohnya, jawaban yang benar adalah jumlah kematian karena bencana sekarang adalah kurang dari separuhnya dibanding dengan seratus tahun lalu. Ini didukung dengan perkembangan teknologi deteksi bencana, pengobatan dan lain-lain. Ketika dia melakukan survey ini, hanya sekitar 10% orang yang menjawab dengan benar. Jauh di bawah kalau yang di survey menjawab dengan random (33%).
Baca Juga: Resensi Buku — Bomber Mafia
Apa yang membuat berita-berita baik ini sepertinya luput dari perhatian banyak orang. Selain karena berita baik kurang mendapat perhatian, Hans melihat bahwa ada 10 hal yang membuat orang kurang cermat, mengabaikan hal baik dan melihat keburukan lebih seksama. Dia menyebutnya “Instinct”.
Yang pertama adalah “The Gap Instinct”. Untuk mendapatkan cerita yang menarik, misalnya distribusi kekayaan, orang membandingkan antara yang tingkat kekayaannya ekstrem dengan orang yang tingkat kemiskinannya ekstrem. Jika dilihat gap(perbedaannya) cukup signifikan. Ini seperti membandingkan Elon Musk dengan tuna wisma. Memang kalau ditulis akan menjadi cerita yang menarik.
Akan tetapi sebagian besar orang sebenarnya ada ditengah-tengah. Memang tidak kaya sekali, akan tetapi tidak buruk. Dan trennya semakin meningkat. Orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem semakin berkurang.
Yang kedua adalah “The Negativity Instict”. Orang lebih memperhatikan hal-hal negatif yang sifatnya sementara. Misalnya kehancuran pasar saham tahun 2008. Padahal kalau dilihat secara jangka panjang, sebenarnya setelah itu semua kembali ke normal bahkan trennya cenderung naik.
Yang ketiga adalah “The Straight Line Instict”. Dalam bagian ini, yang diceritakan adalah bahwa orang melihat sesuatu naik secara linear. Padahal tidak semua berkembang secara linear. Populasi manusia misalnya berkembang secara eksponensial. Masalahnya ketika orang melihat gambar dengan kenaikan yang tajam, maka asumsinya adalah hal itu akan berlangsung seperti itu. Dalam kasus manusia, bumi nanti akan kelebihan beban.
Sebetulnya, hal yang berkembang secara eksponensial pada akhirnya nanti akan melandai. Manusia di dunia pada akhirnya diperkirakan akan berjumlah 10–11 miliar dan akan berhenti naik. Ini karena dengan kesehatan, karier dan pendidikan yang semakin baik, saat ini jumlah anak yang dimiliki keluarga semakin sedikit.
Selanjutnya, yang keempat adalah “The Fear Instinct”. Instinct ketakutan. Dalam diri manusia sudah tertanam bahwa hal-hal menakutkan yang menyangkut kematian selalu mendapatkan perhatian lebih. Misalnya ketika ada kecelakaan pesawat, maka media ramai-ramai menceritakan mengenai kejadian ini. Detail kru, penumpang dan korban menghiasi media dalam beberapa hari.
Hal ini menimbulkan asumsi bahwa naik pesawat itu membahayakan. Padahal pesawat adalah salah satu kendaraan yang paling aman untuk dinaiki. Secara total hanya ada 0.000025 persen kecelakaan pesawat pada tahun 2016.
Baca Juga: Resensi Buku Perennial Seller: The Art of Making and Marketing Works that Lasts
Yang kelima adalah “The Size Instinct”. Orang melihat angka dari angka absolut bukan dari gambaran keseluruhan. Misalnya pada tahun 2016, ada 4.2 juta bayi yang meninggal sebelum berumur satu tahun. Ini memang angka yang besar dan menakutkan bagi semua orang tua.
Tapi kalau melihat tahun sebelumnya, angkanya adalah 4.4 juta bayi yang meninggal. Pada tahun 1950-an angkanya lebih mencengangkan, yaitu 14.4 juta bayi yang meninggal. 4.2 juta bayi memang bukan angka yang kecil, akan tetapi tren dari tahun ke tahun, angka kematian bayi bisa diturunkan.
Keenam tentang “The Generalization Instinct”. Yaitu kecenderungan manusia untuk mengelompokkan hal-hal yang rumit agar mudah dipahami. Akan tetapi hal ini bisa membuat orang membuat kesimpulan yang salah. Memberi stereotype yang salah misalnya orang Jawa pasti medok dan suka bicara di belakang.
Padahal antara orang yang satu dengan yang lain kalau dirata-rata adalah sama saja. Oleh karena itu perlu dibuat kategori lain selain dari area, suku dan lain-lain.
Insting ketujuh disebut “The Destiny Instinct”, yaitu melihat orang lain tidak bisa berubah karena memang nasibnya sudah seperti itu. Misalnya Afrika pasti selalu terbelakang. Orang Indonesia tidak bisa berkembang karena malas. Atau karena lingkungan panas. Padahal kalau melihat tren dari tahun ke tahun, banyak kemajuan yang dicapai di Afrika. Di Indonesia tentunya juga banyak kemajuan yang telah dicapai.
Yang kedelapan adalah “The Single Perspective Instinct”. Ketika kita melihat kejadian dari satu perspective saja. Misalnya ada 3 orang buta yang disuruh untuk menggambarkan gajah. Satu orang memegang belalainya, satu orang memegang perutnya dan satu orang lain memegang kakinya. Ketiga orang itu akan menerangkan gajah dengan ciri-ciri yang berbeda-beda.
Dalam buku ini juga disinggung mengenai keharus hati-hatiannya orang yang menganggap diri mereka ahli (expert). Karena mereka tentunya tidak ahli dalam segala hal. Jadi mendapatkan pandangan berbeda daripada perspektif mereka saat ini akan menjadi hal yang sangat berharga ketika mengambil kesimpulan ataupun keputusan.
Yang kesembilan adalah “The Blame Instinct”. Ini merupakan kecenderungan untuk menyalahkan orang atau hal lain ketika melihat keadaan. Mereka hanya melihat faktor eksternal tanpa evaluasi diri. Yang sering terjadi misalnya menyalahkan pemerintah, konspirasi Yahudi atau negara lain.
Dalam kasus gas buang CO2 misalnya, negara maju menyalahkan negara-negara berkembang seperti India atau China. Padahal kalau dihitung gas buang per orang, maka negara maju jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.
Atau misalnya ketika performa perusahaan sedang tidak baik, maka faktor eksternal seperti ekonomi, covid dan lain-lain menjadi sebab. Memang tidak sepenuhnya salah, akan tetapi bisa saja ada sebab yang lain.
Kesepuluh, yang terakhir adalah “The Urgency Instinct”. Yaitu semuanya harus dikerjakan saat ini dengan sebaik-baiknya walaupun resourcenya terbatas. Urgency instinct ini yang menyebabkan orang melakukan aksi tanpa melihat keseluruhan permasalahan.
Ini juga yang disebut dengan “Action Bias”, yaitu lebih baik melakukan sesuatu padahal salah. Yang penting kelihatan kerja. Urgency Instinc ini juga dipakai oleh orang-orang marketing agar orang lain segera membeli, misalnya “Senin depan harga naik.”
Membaca buku ini cukup mencerahkan. Dan sebaiknya Anda segera membaca buku ini. Sekarang!