Guru Terbaik

Amir Harjo
3 min readJun 9, 2024

--

Souce: Unsplash

“Bapak. Ayo renang.” Demikian panggilan merdu dari anak saya sore itu. Saat itu memang jadwal saya untuk mengecek perkembangan pelajaran renang anak saya. Sepertinya dia sudah tidak sabar menunjukkan skill baru yang diperoleh dari les renang beberapa minggu ke belakang.

Sudah lama saya mencoba mengajari dua anak saya renang. Kami sering berenang bersama di kolam renang kompleks atau kolam renang hotel jika kami sedang bepergian.

Sayangnya, setelah sekian lama mengajari dengan teknik yang saya tahu, anak saya tidak juga bisa berenang.

Bisa dikatakan, saya adalah perenang alami. Maksudnya? Karena dulu saya tinggal di kampung, banyak kolam kecil, kolam besar di dekat persawahan. Juga sungai kecil dan sungai besar yang biasa menjadi tujuan ketika kami tidak punya hal menarik untuk dikerjakan.

Mandi di kolam atau di sungai besar dengan arus cukup kuat dan tanpa pelatih, hanya sesama teman anak kecil, ternyata bisa menghidupkan insting survival untuk bisa terus mengambang sambil menyeberangi sungai. Itulah kenapa saya menyebut diri saya, dan teman-teman saya, sebagai perenang alami. Kami tiba-tiba bisa saja berenang tanpa tahu kenapa kami bisa.

Itulah kenapa ketika saya mengajari anak saya untuk berenang, meskipun saya jago berenang, saya tidak bisa mengajari mereka untuk sekedar mengambang dan at least maju beberapa meter dengan beberapa kali menghirup nafas.

Akhirnya, strategi diubah. Karena skill berenang adalah skill yang menurut kami penting, istri saya berinisiatif untuk memanggil guru privat untuk mengajari berenang. Dan, dalam waktu kurang dari sebulan, anak saya sudah bisa berenang dari ujung ke ujung tanpa bantuan pelampung, hanya diawasi oleh pelatih.

Fenomena ini dulu pernah juga saya alami waktu sedang kuliah master. Salah satu dosen saya itu sangat pintar. Lulusan Cambridge. Ketika akhir tahun pelajaran, beliau pindah mengajar di Oxford. Spesialisasinya di optimisasi dan dia cukup lihai perihal algoritma optimisasi untuk kasus kompresi. Walaupun sangat cerdas, akan tetapi untuk urusan mengajar, saya tidak bisa mengikuti.

Orang-orang dengen kecerdasan alami, mereka tidak mengalami kesulitan untuk memahami hal yang kompleks. Ketika mereka mengajar, mereka tidak paham bahwa banyak orang dengan kecerdasan biasa saja butuh empat atau lima langkah untuk memahami hal kompleks yang bagi orang cerdas, mungkin hanya butuh setengah langkah.

Dan saya kira ini juga yang membuat saya kesulitan mengajari anak saya berenang.

Ketika saya mengajari anak saya berenang saya bilang, “Coba gerakkan kaki dan tangan dengan konstan agar bisa mengambang dan tidak tenggelam,” atau “Gerakkan kaki dan tangan seperti kodok untuk maju ke depan.” Hal yang dipikiran saya mudah, ternyata dalam teori cukup susah dipraktekkan anak saya.

Jadi untuk mencari guru terbaik, memang jangan mencari guru yang hebat. Yang apa saja yang dikerjakan lancar. Bisa saja mereka memang sudah diberkati dengan kemampuan alami, bisa memahami dan praktek tanpa merasa banyak usaha.

Orang dengan bakat alami seperti itu belum tentu guru yang baik. Mereka tidak tahu struggle orang-orang dengan kemampuan biasa yang belum terasah.

Guru yang sadar bahwa mereka dulu tidak pandai pada skill tertentu, kemudian bereksperimen untuk menemukan jalan dengan mencoba berbagai trik dan akhirnya menjadi hebat, bisa jadi akan menjadi guru yang mumpuni.

Sebenarnya, agar guru dengan kemampuan alami untuk menjadi guru yang hebat, yang dibutuhkan adalah rasa empati. Mereka berempati bahwa tidak semua orang memiliki kapasitas satu level dengan dirinya. Dan dengan jam terbang yang tinggi, rasa empati ini bisa tumbuh dan di aplikasikan dalam bentuk pengajaran yang mudah diterima oleh muridnya.

Mungkin itulah yang membedakan antara saya dan guru renang anak saya. Saya punya kemampuan alami berenang, sedangkan guru renang itu sudah memiliki empati tinggi dengan mengajar murid dengan kemampuan bervariasi. Jadi dia bisa tahu bagian kemampuan yang harus diasah oleh anak saya.

--

--