KRL Selalu Penuh. Benarkah Okupansi Rate KRL 62.8%?

Amir Harjo
4 min readApr 21, 2023
Sumber: Detik

Ketika masih bekerja di Ibu Kota dulu, stasiun kereta yang selalu membekas dalam ingatan adalah stasiun Tanah Abang dan Stasiun Manggarai.

Benar saya tinggal di Tangerang Selatan dan untuk mencapai kantor saya yang berada di daerah Tebet, kedua stasiun itu selalu saya lewati untuk transit.

Stasiun Tanah Abang selalu penuh dan berdesak-desakan di jam berangkat dan pulang kerja. Sedangkan stasiun Manggarai selalu menunggu lama. Untung saya tidak lama bekerja di Tebet dan pindah bekerja di daerah blok M. Sehingga kedua stasiun itu sekarang bisa saya hindari.

Akan tetapi, kalau ada keperluan, saya sering transit di stasiun Tanah Abang, yang pada jam berangkat atau pulang kerja berdesakan bukan kepalang.

Akhir-akhir ini memang wacana mengenai padatnya stasiun kereta pada jam sibuk dan upaya untuk menurunkannya sedang panas dibahas. Pada saat yang sama, KCI juga sedang berupaya untuk mengimpor kereta bekas dari Jepang untuk meremajakan kereta yang saatnya harus pensiun. Sayangnya, ada wacana mengemuka bahwa ide ini di tolak.

Apa alasannya? Dalam artikel Detik pada April 2023 ini, alasan yang mengemuka adalah tingkat okupansi rate yang masih rendah yaitu 62.8%. Kok bisa? Sepertinya antara alasan pengajuan penambahan kereta dan alasan penolakannya tidak nyambung. But, who am I to judge?

Tentu saja, mendengar alasan yang sepertinya reasonable ini membuat netizen geram dan bereaksi keras. Banyak yang menunjukkan keluh kesah dan foto-foto ketika stasiun transit terutama sangat penuh. Terutama di Tanah Abang dan Manggarai.

Bagaimana bisa okupansi rate hanya sedikit diatas 50% ketika pada kenyataannya, pengalaman yang banyak dialami oleh para Roker (rombongan kereta) adalah stasiun Tanah Abang selalu berjubel, berdesak-desakan dengan tempat duduk terbatas dan tidak manusiawi karena desainnya membuat pengguna lebih terasa berdiri daripada duduk. Siapa yang salah?

Hal ini pernah juga di bahas dalam buku How to Make the World Add Up. Dalam buku tersebut, Tim Harford, sang penulis yang tinggal di London, terbiasa untuk menggunakan bis dan tube untuk berangkat kerja. Penulis merasa bahwa transportasi umum tersebut sangat crowded. Akan tetapi, data statistik menunjukkan kenyataan yang berkebalikan. Menurut TfL, Transport for London, bagian dari pemerintah yang bertugas untuk manajemen transportasi di London, tingkat keterisian (okupansi rate) bus double decker hanya 12 dari 62 kursi atau sekitar 19%. Bahkan untuk urusan kereta tube, angkanya lebih mencengangkan lagi. Satu tube bisa menampung sekitar 1000 orang, tapi okupansinya cuma 130 orang. Atau sekitar 13% saja.

Kenapa bisa seperti itu? Tentu saja karena perhitungan yang dilakukan oleh Transport for London adalah perhitungan rata-rata. Tidak hanya saat jam sibuk. Dan ini saya kira sama kasusnya dengan kasus yang ada di Indonesia. 62.8% okupansi rate adalah rata-rata. Tentu saja saat jam sibuk okupansi rate bisa melebihi 100% sedangkan pada saat lowong, mungkin hanya 10% saja.

Dan bagaimana para lembaga transportasi ini menghitung dengan pasti mengenai okupansi rate ini? Sebenernya tidak ada yang pasti. Ada Data Scientist (statistician) yang mengestimasi tingkat okupansi rate per kendaraan. Bagaimana pendekatannya? Dulu mungkin dengan survey. Ada seorang peneliti yang ngambil sample kereta di tiap waktu.

Karena sekarang sistem pembayaran kereta sudah menggunakan kartu elektronik tap-in dan tap-out, estimasi menggunakan data jumlah orang yang tap-in di stasiun tertentu dan kemudian keluar di stasiun yang lain mungkin akan memberikan angka yang lebih akurat.

Jadi bagaimana solusinya?

Saat ini waktu kedatangan antar kereta berangkat dari Tanah Abang ke Serpong misalnya, rata-ratanya adalah 10 menit. Ini untuk sepanjang waktu dari pagi sampai petang. Tentu saja ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MRT Singapura yang waktu antar kedatangan kereta bisa 2 menit saat jam sibuk dan 5–6 menit pada saat tidak sibuk. Menambah frekuensi kedatangan kereta bisa menjadi salah satu yang bisa di pelajari dan dipertimbangkan. Penambahan frekuensi ini akan ada korelasi dengan penambahan mesin lokomotif dan kemungkinan investasi di infrastruktur transportasi misalnya, penjadwalan kereta, ataupun perlintasan jalan yang saat ini masih belum berupa jalan layang seperti di Sudimara atau Bumi Bintaro Permai.

Alternatif kedua, penambahan gerbong kereta untuk antisipasi jumlah penumpang yang membludak juga bisa dilakukan. Dan saya kira ini yang sekarang menjadi polemik. Yang berbahaya adalah jika tingkat okupansi rate menjadi KPI dari KCI. Pastinya dengan adanya tambahan gerbong, dengan cara perhitungan yang sama, tingkat okupansi rate akan turun dan BPKP ataupun KCI tidak punya insentif untuk menambah jumlah gerbong sekarang.

Selain itu, hipotetikal KPI yang bisa juga dijadikan ukuran adalah tingkat kepuasan pelanggan, misalnya dengan NPS skor atau metode perhitungan yang lain, misalnya layar rating kepuasan di pintu masuk dan keluar. Karena, kalau kepuasan pelanggan menjadi hal utama yang harus dikejar dan ditingkatkan, maka polemik seperti penambahan gerbong ini akan selesai dengan sendirinya.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Amir Harjo
Amir Harjo

Written by Amir Harjo

Hi, I am Amir Harjo. I like to read. I want to consistently write about things I am curious about. If you like my writing, please claps or comment.

No responses yet

Write a response