Kenapa Orang India Pintar Bicara?

India ini negara yang akhir-akhir ini memiliki nilai berita yang cukup bagus. Setelah memenangkan piala Thomas mengalahkan unggulan Indonesia bulan Mei 2022 lalu, mereka membuat heboh dengan menghack situs TNI. Aksi hack ini diberitakan sebagai aksi balas dendam terhadap aksi hacker Indonesia yang kerap berlatih dengan membajak situs-situs dari negara India.
Tapi bukan itu saja cerita yang cukup menarik dari India, dan orang-orang keturunan India. Sudah banyak diketahui bahwa banyak CEO perusahaan teknologi dan bonafit merupakan orang-orang India, meskipun mereka sudah berpindah kewarganegaraan. Sebut saja raksasa teknologi seperti Google ataupun Microsoft yang diawaki orang kelahiran India. Bahkan, saat ini negara Inggris yang pernah menjajah India, salah satu calon kuat Perdana Menterinya adalah seorang keturunan India. Namanya Rishi Sunak, masih muda dan pernah menjadi menteri keuangan di kabinet yang diawaki Perdana Menteri Boris Johnson.
Tidak usah jauh-jauh membicarakan perusahaan teknologi di Amerika ataupun Inggris. Banyak juga eksekutif India yang menduduki posisi penting di Indonesia. Tengok saja perusahaan Unicorn semacam Gojek yang posisi headnya diawaki orang India. Apalagi perusahaan sales semisal kantor perwakilan perusahaan teknologi ataupun agensi untuk industri periklanan yang C levelnya di gawangi oleh orang India.
Kalau kita bekerja diperusahaan global, mau tidak mau kita akan banyak bersentuhan dengan orang India. Baik itu sebagai boss, mitra kerja, ataupun sebagai client yang harus kita dekati dan dibuat baik suasana hatinya.
Dari pengamatan saya, orang India ini memang kebanyakan ulet, bekerja keras, dan tentunya pintar bicara. Kalau mereka bicara, apalagi bahasa inggris, susunan kalimatnya bagus, urutan logikanya benar dan terdengar sangat fasih.
Memang untuk urusan “berbicara” dan “komunikasi” ini, orang India terkenal sebagai jagoannya. Kalau ada penjualan teknologi rumit, negosiasi atau ketika ada masalah pelik, kemampuan mereka bicara sangat membantu. Bahkan salah satu rekan saya yang saat ini bekerja di Malaysia sampai terkagum-kagum karena ketika ada masalah serius, mereka bisa “ngeles” dan problemnya bisa diminimalisir dampak “politiknya”.
Orang India memang pintar bicara karena DNA mereka seperti itu. Tapi, apakah benar seperti itu?
Pada perang dunia kedua, pemerintah Amerika membentuk sebuah badan bernama Statistical Research Group (SRG). Tugasnya adalah membantu pemerintah Amerika untuk mengambil keputusan-keputusan yang tepat pada perang dunia kedua.
Salah satu matematikawan terkenal yang bekerja di sana adalah Abraham Wald. Pada tahun 1943, dia diminta untuk membantu memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh angkatan udara. Perang udara adalah perang yang mahal. Maka diharapkan banyak pesawat yang kembali setelah melakukan peperangan. Pertanyaannya adalah, bagian pesawat mana yang harus diperkuat agar ketika ditembaki, pesawat tersebut tidak jatuh? Kalau semua bagian pesawat diperkuat, pesawat tersebut akan terlalu berat dan akan boros bahan bakar. Akan tetapi kalau pesawat tersebut diperkuat di bagian yang salah, kemungkinan pesawat tersebut kembali dengan selamat akan semakin kecil.
Data-data dikumpulkan. Pesawat yang kembali memiliki banyak lubang tembakan diseluruh bagian pesawat. Meskipun dengan distribusi yang berbeda-beda. Yang paling banyak kena adalah bagian badan pesawat dan sayap. Kesimpulannya, mungkin bagian tersebut yang seharusnya diperkuat karena paling banyak kena peluru? Tidak bisa begitu Wagiyo. Analisisnya tidak benar karena hanya mempertimbangkan pesawat yang kembali dari perang, tidak memperhitungkan pesawat yang jatuh. Pesawat yang kembali memang sedikit tertembak di bagian mesin dan bahan bakar. Jadi yang tidak kembali kemungkinan besar tertembak di dua bagian tersebut. Jadi seharusnya yang diperkuat adalah bagian mesin dan bahan bakar.
Cerita ini sudah menjadi cerita standar mengenai Survivorship Bias. Yaitu ketika kita salah mengambil kesimpulan karena hanya mengamati ciri-ciri dari orang yang sukses, atau dari fenomena yang berhasil, tanpa mempertimbangkan ribuan atau jutaan data lain yang gagal.
Pada saat SMP dulu misalnya, banyak dari teman-teman yang ingin membentuk sebuah band dan menjadi terkenal. Mereka melihat bahwa membentuk band itu mudah. Buktinya hampir tiap hari ada band baru yang diperkenalkan. Padahal band baru itu merupakan salah satu yang berhasil dari ribuan dari band-band lain yang kandas di tengah jalan.
Atau lihat juga fenomena start-up saat ini. Banyak start-up yang diberitakan mendapatkan pendanaan dengan valuasi yang fantastis. Bayangkan kamu masih muda baru selesai kuliah dan punya ide yang menurut kamu brilian. Kamu sudah punya impian, mungkinkah perusahaan ini akan menjadi next Google? Jika beruntung, mungkin iya. Tapi pada kenyataannya, lebih banyak perusahaan yang gagal dibandingkan yang berhasil. 80% perusahaan baru mati ditahun ketiga.
India memiliki 1.4 miliar penduduk. Kehidupan disana memang penuh persaingan. Banyak dari mereka, anak muda bertalenta, yang bermimpi untuk bisa bekerja di luar India. Terutama di sektor teknologi.
Mereka yang bisa keluar dari India adalah yang secara akademik bagus dan juga pintar mengutarakan pendapat, berjualan dan negosiasi. Dimana kemampuan itu sangat mementingkan kemampuan berbicara dan berkomunikasi.
Mereka-mereka yang berhasil adalah crème de la crème. Memang sudah sangat terpilih karena kemampuan berbicara mereka. Dan kemampuan membawa mereka ke posisi terhormat pada banyak perusahaan di dunia, dan Asia Tenggara tentunya.
Orang-orang India yang kita temui ketika kita bekerja adalah mereka-mereka yang sudah terpilih. Sehingga kesimpulan kita menjadi bias. Kita menganggap semua orang India sangat jago berbicara, padahal itu hanyalah sample outlier. Ini seperti fenomena Survivorship Bias. Seandainya kita hidup disana, mungkin pendapat kita mengenai bahwa orang India sangat pintar bicara tidak sepenuhnya benar.