Ketika Ambisi Orang Tua Terbentur Peraturan Zonasi PPDB

“Kamu sudah punya penasihat kuliah (untuk anakmu yang berumur 12 tahun -red)?”, tanya Alex Morrow dengan kaget. Ibu dari Evan Morrow, seorang anak yang berumur 12 tahun, bertanya kepada Camilla Mahal, salah seorang ibu dari rekan sekolah anaknya.
“Ya” jawab Camilla yang kemudian melanjutkan “Kamu belum punya?”
“Belum” jawab Alex Morrow
“Wow, kamu berani sekali” timpal Camillia dengan wajah kasihan
Saya dan istri saya tertawa terbahak-bahak dengan tingkah laku ibu-ibu di serial The Mighty Ducks: Game Changers yang ditayangkan di Disney+. Kami menertawakan ibu-ibu ambisius yang sejak anaknya berusia 12 tahun mempersiapkan mereka untuk masuk Harvard dengan menyewa konsultan pendidikan dan mempersiapkan kegiatan ekskul anaknya. Tujuannya? Punya cerita yang bisa dijual ketika menulis essay atau wawancara masuk universitas di Amerika Serikat.
***
Saya dan istri saya adalah perantau. Perantau kecil-kecilan, karena sekarang kami tinggal dikota yang jauh dari tempat kami tumbuh besar. Walaupun masih di negara yang sama. Derita yang dihadapi perantau adalah memilih sekolah yang bagus untuk anaknya karena belum ada pengalaman tinggal di kota ini sebelumnya. Sungguh wajar sebagai orang tua, kami ingin anak kami sekolah di sekolah terbaik agar masa depan mereka cerah.
Waktu saya kecil dulu, memilih sekolah bukan sebuah dilema. Saya masuk SD yang dekat rumah. Masuk SMP yang baik di kecamatan. Masuk SMA yang baik secara nasional.
Bagaimana cara memilih SD, SMP dan SMA mana yang baik di daerah kami dan untuk anak kami? Tentu saja kami mengandalkan jaringan kami. Group WhatsApp ibu-ibu sekolah yang kebetulan anaknya seusia juga kebanyakan adalah pendatang.
Group WhatsApp ibu-ibu anak kelas 6 SD riuh banget dengan notifikasi waktu itu. Karena sebentar lagi anak mereka masuk sekolah SMP. Untuk jenjang SMP dan SMA, sekolah negeri menjadi idola. Akan tetapi semenjak adanya zonasi PPDB, banyak impian ibu-ibu menyekolahkan anaknya di SMP atau SMA Negeri terbaik menjadi sirna.
Ada cerita seorang ibu yang sudah yakin anaknya masuk ke sekolah yang bagus karena punya rumah yang dekat dengan sekolah yang diincar, cuma 700 m saja. Secara prestasi cukup. Ternyata tetap tidak diterima. Alasannya? Waktu daftar, titik rumah di peta onlinenya tidak akurat, sehingga jarak menjadi 1000 m dari sekolah. Mencoba digeser tidak bisa karena terkendala jaringan internet.
Setelah mencoba mengikuti obrolan WhatsApp dan juga berdiskusi dengan orang tua yang lain, ada beberapa siasat yang dilakukan agar anaknya bisa sekolah di sekolah negeri impian.
Yang pertama, pindah rumah sekalian pindah kartu keluarga. Salah seorang ibu yang anaknya cukup berprestasi pindah rumah mendekati sekolah impian anaknya. Meskipun saat ini, jarak rumah yang dipilih jauh dari sekolah SD yang sekarang. Lebih dari 30 menit dengan mobil.
Ibu yang lain lagi dengan mantap pindah Kartu Keluarga ke daerah Jakarta Selatan karena kebetulan ada rumah di daerah tersebut. Apalagi Jakarta Selatan cukup terkenal dengan banyaknya sekolah negeri yang cukup bagus.
Yang kedua, membeli properti di sekitar sekolah yang bagus. Kalau yang ini adalah strategi dari grup bapak-bapak. Saat ini di Jakarta dan sekitarnya banyak apartemen yang dibangun. Dengan surat kepemilikan apartemen, surat pengantar pengelola apartment, pengantar RT/RW asal, kemudian ditambah dengan surat pengantar dari RT/RW sekitar apartemen, KTP dan KK bisa dengan mudah berganti.
Tentu metode kedua ini perlu modal yang banyak. Mungkin nanti akan ada bisnis tersendiri dimana orang tua dengan mudah memindah alihkan apartemen setiap tahun karena toh yang dibutuhkan surat tinggalnya hanya saat pendaftaran sekolah.
Yang ketiga, yang tidak ada keinginan pindah rumah dan modalnya tidak terlalu bagus, tetap ada harapan. Yaitu melalui jalur prestasi. Dari syarat PPDB, ada beberapa persen kuota yang akan dipakai untuk siswa berprestasi. Dari raport, juara lomba dan juga aktif organisasi. Menurut aturan tahun 2021 misalnya, 18% akan berasal dari prestasi akademik dan 5% berasal dari prestasi non-akademik. Yang tentunya banyak term and conditions yang berbeda-beda tiap sekolah menentukan jalur prestasi itu seperti apa.
Metode ketiga ini perlu kejelian orang tua tentang kira-kira bakat apa yang anaknya cukup bagus. Juga memilih lomba yang mana dan tingkat apa yang anaknya ada kemungkinan besar menang. Yang tak kalah penting, keproaktifan orang tua setelah anak lomba. Karena kadang-kadang piagam, medali dan lain-lain akan disimpan pihak sekolah. Sehingga orang tua perlu menduplikat sendiri medali yang sudah dimenangkan.
***
“Berarti anak kita harus kita tunjukkan prestasinya Pak” kata istriku
“Iya Bu”
“Itu piagam-piagam waktu dia ikut lomba dikumpulin. Kalau bisa sekarang ikut-ikut kursus dan lomba-lomba lagi gitu, siapa tahu ada yang nyantol. Non akademik mungkin bisa menggunakan prestasi kegiatan ekstrakurikuler”
Loh-loh…. Ko saya and istri saya jadi mirip keluarga bu Camilla Mahal yang ambisius menyiapkan anaknya sekolah di Harvard?
[NOTE: Pernah dikirim ke Terminal Mojok dan ditolak]