Kucing Tak Berguna

Amir Harjo
3 min readMay 23, 2024

--

Sumber: X(Twitter). Gambar hanya ilustrasi, bukan gambar kucing tetangga.

Suatu hari, tiba-tiba ada galian di tanah kosong belakang rumah. Kata tetangga, kemungkinan besar itu adalah ulah binatang. Memang galiannya tidak besar, tapi volume tanah yang berpindah sempat membuat aku berfikir itu adalah ulah tukang.

Memang benar kata tetangga, ada jejak kecil disemak-semak yang menandakan ada aktivitas binatang disitu. Apakah ular? Ataukah musang yang dulu suka berjalan mondar-mandir di kebun ini?

“Bagaimana kalau kita pasang CCTV atau kamera yang ada pendeteksi gerakan?” usul anakku yang kecil. “Yang mirip di channel Animal planet itu.”

“Ide bagus. Tapi siapa provider yang punya fasilitas kamera seperti itu ya?” tanyaku pada istriku.

Untungnya, kami tidak perlu memasang perangkat mahal seperti itu. Dua hari setelah penemuan lubang misterius itu, tiba-tiba ada binatang berbentuk tikus, sebesar kucing remaja berjalan santai menuju galian, sambil menggigit-gigit sesuatu.

Saya dan anak saya menggedor-gedor pintu kaca. Tujuannya untuk membuat tikus itu kaget, melarikan diri dan meninggalkan rumahnya yang sedang dibangun. Bahwa kebun belakang ini sudah jadi wilayah legal sebuah keluarga manusia. Dan pelanggaran privasi adalah kejahatan besar. Sayangnya, tikus itu cuek, tidak peduli, tidak kaget dan meneruskan mengunyah.

Saya buka HP, saya foto beberapa kali dan merekam kelakuannya sebagai barang bukti kejahatan.

“Apa gunanya ada kucing yang suka tiduran di depan rumah kalau pada akhirnya ada tikus besar bebas membuat sarang di dekat rumah?” ungkapku pada anakku dengan kesal.

Memang, selain tikus yang baru-baru ini masuk wilayah privat, ada kucing tetangga yang juga suka melanggar wilayah privat keluarga kami.

Memang, untuk urusan kucing, menurut nalar kucing, mungkin keluarga kami yang kurang ajar. Dulu tanah ini adalah salah satu kavling kosong dengan rumput yang cukup lebat. Kucing-kucing tetangga mampir dan buang hajat. Mungkin bagi mereka, ini adalah toilet mereka yang cukup luas.

Lalu datanglah kami, dengan seenaknya membangun rumah di toilet mereka. Setelah rumah selesai, kebiasan kucing-kucing untuk sekedar mampir dan buang hajat belum hilang.

Berbagai ide dilontarkan dirapat keluarga.

“Bagaimana kalau pasang kamera CCTV? Jadi nanti dari banyak kucing, bisa ketahuan kucing mana yang suka eek sembarangan.” Salah satu anggota keluarga memberi usul.

“Bagaimana kalau kita memasang sensor gerak? Jadi begitu ada pergerakan di sekitar taman, akan ada air mengucur dan mengguyur kucing yang lewat. Sekalian jadi proyek kecil-kecilan.”

“Bagaimana kalau salah satu kucing kita tangkap, kita siksa dan taruh di depan rumah. Jadi kalau ada kucing lain mendekat dan berfikir untuk mendekati rumah kita, dia bisa melihat rekannya yang menderita dan jadi pelajaran untuk tidak main-main ranah privat rumah kita. No Trespassing.” Salah satu anggota keluarga memberi usulan. Rupanya dalam hidupnya dia sudah terlalu banyak membaca buku ataupun menonton film tentang konflik berkepanjangan dengan pertaruhan nyawa. Dia adalah saya sendiri. Tentu saja usul ini ditertawakan anak-anak.

Dan dari banyak ide-ide yang megah itu, hanya satu ide konkret dari istri saya yang langsung bisa dijalankan. Konon katanya, kucing itu takut dengan bayangan sendiri. Salah satu tetangga menaruh banyak botol plastik berisi air yang bisa merefleksikan kucing yang berani mendekat. Mereka akan ketakutan dan lari.

Akhirnya, beberapa titik kami pasang botol air mineral bekas berisi air. Untuk sementara waktu, tampaknya cara ini berhasil.

“Bau apa ini?” bau tak enak merebak ketika kami membuka depan rumah. Disitu, didekat sandal-sandal sudah ada gumpalan bau yang kami yakin adalah kotoran kucing. Padahal, di dekat titik itu, sudah ada botol plastik bekas Le Mineral galon yang berisi air. Rupanya, kucing sudah paham muslihat manusia. Taktik ini tidak lagi berhasil menghalau kucing. Bahkan sekali waktu, sandal-sandal kami lengket karena kencing kucing.

Kucing-kucing kurang ajar ini membuat kami hilang respek. Bahkan ketika jalan-jalan bersama, kalau ada kucing menyeberang jalan, kami sering berhayal untuk menabrak kucing itu dan membuat hidupnya sengsara. Suatu hayalan yang kejam tapi manis. Rasa hormat dan sayang kami pada kucing mulai pudar.

Sore hari, ketika pulang dari mengunjungi saudara, saya melihat banyak kucing tetangga sedang berjemur. Setelah parkir, iseng saya dekati mereka. Beberapa kabur, tapi ada satu kucing orange putih yang masih santai tiduran seakan-akan hidupnya masih aman. Aku elus-elus punggung dan kepalanya. Kucing itu dengan manja minta dielus lagi. Kepalanya dicondongkan ke depan, lehernya minta digaruk. Enak… lembut… stress karena pekerjaan, pikiran akan proyek yang belum selesai, bujet yang tipis dan hal lain yang membebani pikiran saya tiba-tiba berkurang.

Kucing bisa menjadi obat stress yang ampuh rupanya. Kalau begitu, apakah sebaiknya saya mau memelihara kucing?

--

--