Kuota Mudik, Layaknya Kuota Haji adalah Solusi Mengatasi Macet di Jalanan

Lebaran tahun ini benar-benar istimewa. Setelah dua tahun berturut-turut tidak bisa lebaran bersama dengan keluarga di kampung halaman, tahun ini akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Tak heran kalau tahun ini lebih dari 1 juta kendaraan melaju keluar dari Jakarta pada saat menjelang lebaran.
Saya termasuk salah satu dari orang yang mudik. Waktu tempuh kampung saya di Magelang dari Tangerang Selatan biasanya sekitar 7–10 jam. Mudik kali ini, kami merencanakan untuk berangkat pada H-1 lebaran. Saya sudah mengantisipasi bahwa saya akan terjebak di jalanan lebih dari 12 jam. Tapi ternyata, saya hanya membutuhkan waktu 8 jam untuk sampai rumah. Ini sungguh di luar perkiraan.
Saya jadi punya ekspektasi besar bahwa beberapa hari kedepan tidak akan ada kemacetan. Bahwa pemerintah cukup berhasil mengendalikan perilaku warganya sehingga setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk punya lebih banyak waktu bersama keluarga daripada di jalanan.
Buktinya, pada hari kedua kami sekeluarga jalan-jalan ke Punthuk Setumbu dan jalanan sangat lancar. Parkir tersedia. Keinginan kami untuk napak tilas perjalanan cinta antara Cinta dan Rangga terbayar tuntas. Candi Borobudur terlihat indah dari atas diselimuti kabut cukup tebal. Bahkan, bayang-bayang Gereja Ayam disinari semburat mentari pagi juga kelihatan sangat mistis. Magnificent. Marvelous kalau kata Jarjit.
Sayangnya, keberuntungan saya sepertinya tidak bertahan lama. Hari ketiga lebaran, kami sekeluarga ingin mengunjungi Dieng. Ini akan menjadi pengalaman saya mendaki dataran tinggi ini. Menurut informasi dari Google Maps, kami akan mencapai tujuan kurang dari tiga jam, dengan sedikit kemacetan. Dengan optimis kami berangkat dari rumah jam tujuh pagi dan berharap sampai di lokasi pada pukul sepuluh.
Ternyata, pada hari itu banyak orang yang berpendapat sama dengan kami. Jalanan menuju Dieng yang sangat terjal membuat beberapa mobil menyerah dan menyebabkan kemacetan panjang. Kami sampai lokasi 15 menit sebelum tempat wisata tutup. Jadi rencana kami untuk mendapatkan foto-foto ciamik dengan pemandangan gunung hari itu gagal.
Pagi berikutnya, hari Kamis, saya balik ke Jakarta. Diperkirakan bahwa puncak arus mudik akan terjadi pada hari Jumat sampai hari Minggu. Tentunya harapan saya besar untuk bisa kembali ke Tangerang Selatan dalam 8 jam. Seperti tempo hari. Ternyata harapan saya kandas. Saya menghabiskan waktu 21 jam untuk sampai rumah. Beberapa jamnya saya pakai untuk berhenti dipinggir jalan dan tidur selama dua puluh sampai tiga puluh menit karena kelelahan.
Ternyata, menebak-nebak perilaku manusia itu hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Harapan dan kenyataan kadang sangat berkebalikan. Apalagi kalau sudah terkait perilaku mudik. Memperkirakan arus mudik, berapa kendaraan yang akan lewat, berapa lama waktu tempuh dan lain-lain memiliki tingkat kesalahan yang tinggi. Apalagi kalau metode perkiraannya menggunakan perasaan. Kemungkinan salahnya menjadi sangat besar.
Saya jadi berpikir, agar jumlah kendaraan yang akan melaju pada hari tertentu bisa lebih mudah diprediksi, bagaimana kalau kendaraan yang mau mudik dibatasi oleh kuota? Seperti kuota haji gitu.
Eits…. Sebelum anda marah dengan ide absurd ini, saya coba jabarkan dulu teknisnya. Jadi kuota yang saya maksud bukan dengan membatasi jumlah orang yang bisa mudik. Jumlah orang yang bisa mudik bebas, sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja, jumlah kendaraan per-hari yang melintas jalanan dibatasi. Misalnya, jumlah kendaraan yang boleh lewat tol cipali per-hari adalah 100 ribu, maka para pemudik yang ingin menggunakan tol cipali harus mendaftarkan via aplikasi. Kalau misalnya ternyata yang mendaftar lebih dari 100 ribu pada hari yang direncanakan, pemudik bisa memilih hari yang lain.
Akibatnya apa? Kendaraan yang mudik akan lebih tersebar harinya dan tentunya kemacetan juga bisa dihindari. Kan bisa dibuat simulasi terlebih dahulu berapa kendaraan yang boleh lewat agar tidak terjadi kemacetan.
Kalau ada yang curang bagaimana? Misalnya, dia tidak mendaftar hari itu, tapi dia berkendara pada hari tersebut. Owh… itu tentu ada solusinya. Kita tinggal panggil om Budiman dengan Bukit Algoritmanya. Kan waktu kendaraan mendaftar untuk mudik, nomor polisi juga dimasukkan dalam aplikasi. Dengan teknologi Artificial Intelligent and Computer Vision, di tiap pemberhentian tol ada CCTV yang akan membaca nomor polisi kendaraan. Kalau misalnya nomor polisi belum terdaftar hari itu, bayar tol-nya jadi mahal banget. Misalnya kena denda satu juta rupiah. Tinggal dicari saja berapa angka kira-kira yang bikin orang kapok dan ga mau curang lagi.
Gampang kan? Atau Ribet? Ya ga apa-apa. Namanya juga ide. Suka atau tidak suka silahkan lanjutkan di kolom komentar ya.