Lantai Atas Sarinah Yang Sepi. Apakah Banyak Pilihan Berarti Buruk?
Sarinah, salah satu ikon mall tertua di Indonesia dan Jakarta berbenah. Sarinah yang saya ingat dulu adalah mall tua yang tidak nyaman dikunjungi sekarang menjadi mall yang modern dan enak untuk kongkow. Sayangnya, yang cukup ramai di Sarinah hanya lantai dasar dan lantai satu. Lantai atas yang berisi barang-barang fashion dan seni cukup sepi. Padahal layout di lantai atas tersebut sangat lapang dan rapi.
“Customer itu pengennya banyak pilihan. Jangan main take out saja barang-barang yang tampaknya tidak laku” begitu kira-kira ujaran salah satu GM di salah retail fashion di Indonesia beberapa tahun lalu.
Memang waktu itu, kami sedang memberi ide untuk declutter toko mereka dengan salah satu optisanya adalah category optimization. Produk-produk yang tidak dilaku dirasionalisasi. Sehingga tokonya lebih tampak lapang, dan menyisakan produk-produk yang laku dan memberikan gross margin yang tinggi untuk perusahaan retail. Tampak cerdas bukan?

Berbicara mengenai membatasi banyaknya pilihan, yang pada akhirnya membuat customer lebih cepat memutuskan sudah dibahas dalam buku The Paradox of Choice. Apakah banyak pilihan selalu baik? Dahulu mungkin iya, akan tetapi dalam studi baru sepertinya kebijakan ini sudah usang. Terlalu banyak pilihan membuat orang lebih kecil kemungkinannya untuk memilih dan setelah mereka memilih, mereka less happy dengan pilihan mereka.
Dalam artikel di Financial Times, salah satu eksperimen mengenai Paradox of Choice yang terkenal adalah yang dilakukan oleh dua orang psikolog yang bernama Mark Lepper dan Sheena Iyengar. Mereka bereksperimen dengan mendirikan kios untuk mencoba selai di salah satu supermarket di California. Kadang-kadang mereka menawarkan 6 variasi selai, dan di waktu lain, mereka menawarkan 24 variasi selai. Orang-orang yang mencoba selai kemudian diberi kupon diskon untuk membeli selai.
Dan hasil eksperimennya sangat menarik. Memang dengan display yang lebih besar dengan menawarkan 24 variasi selai bisa menarik lebih banyak pengunjung, akan tetapi hanya sedikit yang pada akhirnya membeli selai. Ketika pilihan yang ditawarkan 24 variasi, hanya 3 persen pengunjung yang menggunakan vouchernya. Hasilnya berbeda jauh dengan eksperimen ketika hanya ada 6 variasi yang ditawarkan, karena metode ini bisa mengkonversi 30% dari pengunjung menjadi pembeli.
Apakah hasil ini dapat dipercaya? Sebagai seorang analis yang sering melihat data tentu punya argumen lain mengenai fenomena ini. Misalnya, kalau kita melakukan campaign digital, tentu ketika kita memiliki banyak pengunjung, conversion rate akan turun. Kenapa? Karena berarti kita melakukan broad targeting, kita akan mendapatkan traffic yang tinggi, menarik banyak orang yang sebenarnya tidak terlalu tertarik membeli selai, tapi mereka tertarik dengan display yang besar. Sebagai akibatnya konversinya menjadi kecil.
Beberapa waktu yang lalu, Bed Bath & Beyond, salah satu toko ikonik di Amerika menyatakan bangkrut. Setahun sebelumnya, mereka mencoba meremajakan tokonya yang ada di New York. Bagaimana caranya? Dengan mengurangi jumlah SKU sebesar 44% di lantai penjualan dan pengurangan 14% total ruangan. CEO Mark Tritton berujar, “Toko ini adalah manifestasi dari transformasi kami,” yang baginya, peremajaan itu adalah personifikasi dari strategi manajemen baru.
Akan tetapi, tanggapan konsumen tidak serta merta positif. Salah satu pelanggan menyatakan ketidak sukaanya ketika ditanya komentarnya. Karena sekarang toko ini jadi kelihatan kosong melompong. Tidak banyak pilihan.
Jadi sebenernya, apakah lebih banyak pilihan itu lebih baik atau lebih buruk untuk konsumen? Ternyata, hasil penelitian dari The Paradox of Choice ada plot twistnya. Sulit untuk menjustifikasi bahwa banyak pilihan itu jelek. Bahkan efeknya mungkin tidak seperti yang disimpulkan dalam penelitian, artinya tidak ada efek sama sekali. Bahkan dalam kenyataanya, Starbucks memiliki 87 ribu variasi minuman. Supermarket penuh dengan pilihan produk. Jadi asumsi bahwa banyak pilihan itu buruk, mungkin tidak berlaku universal. Hipotesis tersebut hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu.
Seperti dikutip oleh Financial Times, Benjamin Scheibehenne, psikolog dari Universitas Basel mencoba mencari tahu kapan banyak pilihan itu buruk dan kapan banyak pilihan itu baik. Dia dan rekannya pertama-tama mencoba mereplikasi penelitian yang sudah dilakukan oleh Lepper-Iyengar. Ternyata, mereka tidak bisa mereplikasinya. Hasilnya bertolak belakang dan tidak diketahui kenapa. Dan setelah penelitian lanjutan, misalnya mereka melakukan 10 eksperimen lagi dan juga mempelajari publikasi lain terkait, ternyata secara rata-rata, tidak ada pengaruh mengenai banyaknya pilihan ke pelanggan!
Penelitian-penelitian lain dan teori lain bahkan berkebalikan dengan Paradox of Choice. Misalnya teori mengenai Decoy Effect. Bapak Paradox of Choice mengakui kelemahan ini dan menyatakan bahwa yang akan selalu ada efek yang berkebalikan dan baiknya adalah mencari titik tengah kapan akan ada terlalu banyak pilihan dan kapan terlalu sedikit.
Mari kita tinggalkan kontroversi ini, dan mengambil beberapa pelajaran yang baik untuk bisnis, utamanya retail. Bahwa semakin banyak pilihan itu bisa menaikkan traffic, bahwa traffic yang bisa dikonversi menurut penelitian lebih rendah (atau tidak berpengaruh) maka pada akhirnya, perlu dihitung cost benefit dari strategi yang ingin dijalankan.
Kembali ke cerita saya di awal, ternyata memang pernyataan dari GM salah satu retail lebih mendekati kebenaran daripada kami para analis yang mengandalkan buku. Dan untuk Sarinah, mungkin lantai fashionnya perlu didesain dengan menambah kategori untuk menarik pembeli yang akan merasa dimanjakan dengan banyaknya pilihan.