Metaverse Yang Menghilang, Bukti Memang Memprediksi Masa Depan Tidak Seperti Membalik Telapak Tangan
Oktober 2021 merupakan hari yang bersejarah untuk Facebook. Mereka mengubah fokus perusahaan mereka untuk mengembangkan metaverse, sebuah dunia virtual dimana orang-orang serasa bisa berinteraksi dengan rekan secara nyata. Tapi didalam dunia komputer. Induk perusahaan mereka pun berubah menjadi Meta, yang menaungi produk-produk mereka seperti Facebook, Instagram ataupun WhatsApp.
Orang-orang positif dengan imajinasi tinggi pasti akan menghubungkan visi ini dengan dengan film the matrix. Sedangkan para skeptis akan menghubungkan visi ini dengan Second Life, sebuah perushaan dunia virtual yang tahun 2007–2008 cukup santer disebut-sebut yang tujuannya adalah agar orang bisa membuat avatar sendiri untuk berinteraksi dengan orang di dunia virtual. Tentu saja perusahaan ini sekarang tidak kemana-mana.
Visi Mark Zuckerberg ini tampak masuk akal pada masa wabah Covid-19 dimana orang-orang terkurung didalam rumah. Interaksi manusia berubah 99% menjadi online. Dalam beberapa bulan, kebiasaan ini akan terbentuk. Selamat tinggal dunia nyata.
Dunia metaverse mendapatkan ulasan yang positive. Media masa sampai level negara ikut membahas metaverse ini. Di Indonesia, banyak lembaga pemerintah mengadakan seminar bertema metaverse dan sepertinya implementasi ini tinggal menunggu waktu. Beberapa perusahaan berdiri dengan layanan membantu pembuatan metaverse untuk organisasi. Di Indonesia, RANS entertainment tidak ketinggalan, masuk ke industri ini dengan menggandeng VCGamers, startup yang berdiri akhir tahun 2021.
Coresight Research memperkirakan nilai pasar inovasi digital akan mencapai 100 miliar dolar pada tahun 2023 yang dipicu dengan perkembangan kripto, metaverse dan teknologi lain yang berhubungan dengan desentralisasi sistem keuangan. Lembaga konsultan McKinsey bahkan lebih bullish, mereka memperkirakan metaverse mampu menciptakan nilai untuk bisnis sebesar 5 triliun dolar pada tahun 2030. Angka yang sangat fantastis!
Banyak use-case yang mulai dibuat ketika dunia memasuki dunia metaverse. Dalam buku “Next Generation Retail”, perusahaan retail memiliki beberapa cara untuk memanfaatkan metaverse. Misalnya dengan augmented reality untuk menciptakan campaign digital. Brand bisa bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menciptakan pengalaman yang immersive didunia virtual. Memadukan antara virtual idol dan influencer dunia nyata, dengan avatar digital. Dan tentunya, dengan memonetisasi dunia digital dengan menggunakan NFT.
Apa itu NFT? Simplenya, NFT — Non Fungible Token, adalah sebuah sertifikat kepemilikan barang kreasi digital di dunia maya. Meskipun NFT sudah mulai ada tahun 2014, akan tetapi produk ini mulai terkenal pada tahun 2021. Sebuah karya seni digital berjudul Everydays: The First 5000 Days, sebagai sebuah NFT, terjual seharga 69 juta dollar. Uang sebanyak itu untuk sebuah karya digital tampaknya bukanlah hal yang masuk akal. Use case yang ada sepertinya sangat dipaksakan.
Akan tetapi dengan adanya metaverse, use case NFT menjadi masuk akal. Dengan berinteraksi dan menjelajahi dunia virtual dan meninggalkan dunia nyata, maka kepemilikan barang digital adalah salah satu cara untuk flexing unjuk kekayaan. Tidak heran jika kata kunci NFT mulai menanjak setelah metaverse digaungkan.

Orang-orang mulai tertarik dengan NFT dan mulai menjual barang-barang kualitas rendah di market place NFT. Pada tahun itu, masa depan dunia online tampak makin cerah. Kenyataannya bagaimana?
Sayangnya hype Metaverse dan menjelajahi dunia virtual meredup di tahun 2023 ini. Penanganan kasus Covid-19 yang semakin baik membuat kebijakan isolasi dibuat lebih longgar di semua negara di dunia. Ternyata orang-orang masih suka berinteraksi secara nyata. Dengan begitu gugurlah mimpi metaverse. Bahkan tren pencarian metaverse dan NFT turun secara bersamaan.

Buku Superforecasting sudah merangkumnya dengan brilian. Bahwa secara rata-rata kemampuan memprediksi ahli (expert) secara kasar mirip dengan simpanse yang melakukan prediksi secara acak.
Memprediksi masa depan itu sangat sulit. Semakin jauh periode masa depan yang diprediksi, hasilnya semakin tidak akurat. Meskipun lembaga ternama yang membuat prediksi dengan angka yang bombastis, belum tentu prediksinya benar.
Jangan mudah termakan hype. Seperti tertulis dalam buku Horse Sense, hype tidaklah mencerminkan potensi sebuah produk baru. Hype itu lebih mencerminkan reputasi pembuat hyper. Seperti metaverse yang terkenal karena reputasi dari Mark Zuckerberg, kemudian dikipasi oleh McKinsey.