Resensi Buku — The Bomber Mafia
(Pernah dipublish di Qureta: lihat di sini)
“Perang udara dalam Perang Dunia kedua memiliki kisah yang berliku. Malcolm Gladwell merangkumnya dengan sangat bagus.”
Salah satu pengarang favorit saya di genre non-fiksi adalah Malcolm Gladwell. Biasanya, isinya cenderung mengenai psikologi social dan mengungkap cerita-cerita yang menarik untuk disimak.
Dalam buku Outlier misalnya, Gladwell menerangkan bahwa untuk menjadi orang yang ahli dan kompeten dalam satu bidang, setidaknya mereka harus pengalaman setidaknya selama 10 ribu jam.
Gladwell memang pencerita handal. Sebelum dia, kaidah 10 ribu tidak terlalu banyak dikenal. Kaidah ini sudah dikenalkan K. Anders Ericsson dan rekannya sejak tahun 1993, akan tetapi baru masuk dalam dunia mainstream setelah Gladwell mengenalkan kaidah tersebut dalam buku Outlier.
Yang menarik dari gaya bercerita Gladwell adalah, selalu ada semacam plot twist atau tambahan insights. Selain 10 ribu jam berlatih misalnya, yang paling penting adalah adanya kesempatan dan lahir di saat yang tepat.
Dalam Blink, Gladwell bercerita mengenai kesalahan-kesalahan manusia ketika mengambil kesimpulan secara cepat. Seperti menilai pemilihan Presiden Warren G. Harding di Amerika, salah satu presiden terburuk yang terpilih karena tinggi, tampan dan tampak gagah.
***
Dalam buku Bomber Mafia, tampaknya Gladwell keluar dari pakem buku yang selama ini ditulisnya. Buku yang terbit tahun 2021 itu merupakan buku sejarah mengenai para pimpinan di Aircorps Tactical School, sekolah pilot militer pertama di Amerika, yang menamakan diri mereka sebagai Bomber Mafia. Nama tersebut bukan dimaksud sebagai pujian. Pada saat itu memang sedang jamannya Al Capone and Lucky Luciano dan tembak-tembakan di jalanan. Tapi para anggota fakultas tersebut merasa julukan itu pas dengan mereka.
Setelah Perang Dunia Pertama, teknologi pesawat mengalami perkembangan yang cukup pesat. Para pilot Perang Dunia pertama yang jumlahnya tidak banyak, melihat bahwa masa depan perang adalah perang udara. Bukan lagi perang yang darat yang dikomandani angkatan darat maupun perang laut. Waktu itu pilot hanyalah sebagai pendukung dari angkatan darat.
Para pilot yang idealis bermimpi bahwa, dengan perang udara, maka mereka bisa melakukan pengeboman pada sasaran yang tepat sehingga bisa menghancurkan infrastruktur dan memperlemah musuh. Dengan cara seperti ini, maka jumlah korban yang tidak perlu dari perang bisa dikurangi atau ditekan.
Sayangya, pengeboman tepat sasaran atau precision bombing adalah hal yang sangat sulit. Bayangkan sebuah pesawat yang sedang terbang melaju dengan cepat, tidak bisa melihat sasaran dengan baik karena adanya awan, ditambah dengan aliran angin yang susah diprediksi, harus menjatuhkan bom dengan presisi yang sangat baik agar tidak jatuh banyak korban tapi melumpuhkan infrastruktur musuh seperti jembatan, bendungan ataupun pabrik strategis. Sepertinya ini hal yang mustahil.
Sampai pada akhirnya, seorang teknolog bernama Carl L. Norder, seorang Belanda-Amerika kelahiran Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berhasil membuat alat bantu precision bombing yang bernama bombsight. Alat ini mempertimbangkan banyak hal untuk menjatuhkan bomb pada saat yang tepat dan tepat sasaran. Bahkan dengan bombsight diklaim bisa membantu pilot untuk “menjatuhkan bom ke dalam tong acar dari ketinggian tiga puluh ribu kaki (9.1 km)”.
Lanjut ke Perang Dunia Kedua, kita akan membaca dua tokoh milter penerbang yang memiliki gaya yang berbeda. Haywood Hansell adalah seorang pilot idealis anggota Bomber Mafia. Seorang lagi adalah Curtis LeMay, bukan anggota Bomber Mafia.
Hansell dan LeMay memiliki karakter yang berbeda. Hansell sangat idealis, gentleman dan tokoh favoritnya adalah Don Quixote. LeMay orang yang cukup kasar dan brutal. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda ketika melakukan penyerangan ke musuh melalui udara. Sebenarnya tidak bisa dikatakan sangat berbeda jauh juga. Misalnya saat penyerangan ke Jerman mereka bekerja sama untuk menjatuhkan kota industri penghasil ball bearing yaitu Schweinfurt.
Akan tetapi, ketika perang pasifik dengan Jepang, mereka melakukan pedekatan yang sedikit berbeda. Hansell yang idealis selalu mencoba precision bombing meskipun hasilnya tidak memuaskan. Sampai akhirnya dia dipecat dan digantikan oleh LeMay.
Curtis LeMay memiliki pendekatan yang lebih pragmatis. Bagi dia, yang penting adalah perang cepat selesai. Ketika dia mencoba precision bombing dan tidak berhasil, dia mengganti metodenya dengan napalm bomb yang menghancurkan Tokyo menjadi neraka. Seratus ribu manusia tewas dalam semalam. Kemudian ke kota-kota lain.
Dalam Perang Dunia Kedua, precision bombing memang belum terbukti belum berhasil memenangkan perang. Salah satunya karena keterbatasan teknologi. Saat ini mana pendekatan yang tampaknya lebih mendapatkan dukungan?
***
Layaknya buku Malcom Gladwell yang lain, apakah beberapa “plot twist” dalam buku ini? Sayangnya, kalau saya membuka kejutan tersebut dalam buku ini, saya takut hal itu akan membuat kenikmatan membaca menjadi berkurang.
Bomber mafia merupakan buku Malcolm Gladwell yang paling tipis yang pernah saya baca. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi kenikmatan dan insight yang didapat juga menarik. Pada akhirnya, saya akan merekomendasikan buku ini untuk penggemar sejarah perang, ataupun pencinta buku-buku Malcolm Gladwell. Selamat membaca!