Resensi Novel Biografi “Buya Hamka” Karya Ahmad Fuadi

Menyelami kehidupan Buya Hamka yang penuh warna

Amir Harjo
4 min readJul 31, 2022
Dokumentasi Pribadi

(Pernah dipublikasikan di Qureta. Cek di sini)

Hamka adalah salah satu tokoh nasional yang sudah tidak asing. Namanya sering disandingkan dengan dakwah Islam. Kita mengenal Hamka lewat novel roman karyanya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah ataupun Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Dalam ranah politik, sering diceritakan ketika Hamka menjadi imam salat jenazah Sukarno, meskipun mereka beberapa kali berseberangan dalam politik yang sempat melempar Hamka dalam tahanan selama lebih dari dua tahun.

Saya sudah sering mendengar tentang Hamka, ataupun tentang karyanya. Tapi saya belum pernah membaca satupun karya beliau. Pada suatu kunjungan ke Gramedia dengan keluarga, anak saya menunjukkan sebuah novel biografi berjudul “Buya Hamka”. Buku tersebut adalah karya Ahmad Fuadi yang merupakan salah satu pengarang Indonesia favorit anak saya. Tak kurang Trilogi 5 Menara dan juga novel biografi berjudul “Merdeka Sejak Hati” sudah dilahapnya.

Jadi kami memutuskan untuk membeli novel biografi tersebut. Agar kami lebih paham kehidupan salah satu tokoh nasional yang juga seorang ulama yang mumpuni.

***

Buya Hamka terlahir dari seorang ulama kondang di Maninjau bernama Haji Rasul. Lahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah. Sejak lahir, Hamka sudah diharapkan oleh ayahnya agar nanti berguru di Mekah selama 10 tahun dan akan melanjutkan perjuangan dakwah beliau di Sumatra Barat.

Akan tetapi apa daya, harapan itu hampir pupus karena beberapa peristiwa hidup dan pemberontakan Hamka ke ayahnya membuat hubungan mereka renggang cukup lama.

Membaca novel ini, maka saya bisa membagi kehidupan Hamka dalam lima tahap. Dimana dalam setiap tahap, hidupnya di hadapkan pada pilihan sulit.

Tahap pertama adalah tahap pencarian diri. Ini terjadi semenjak dia lahir sampai dia pulang naik haji. Pada masa muda, orang tua Hamka cukup sibuk berdakwah sehingga dia jarang berinteraksi dengan orang tuanya. Untungnya ada pamannya yang bisa menggantikan sosok ayahnya. Paman dia pulalah yang mengenalkan Hamka pada dunia sastra minang.

Hamka masa kecil dipaksa oleh ayahnya untuk belajar ilmu agama. Akan tetapi dia kurang menikmatinya. Dia lebih menikmati sastra dan pidato daripada belajar agama. Apalagi ketika ayahnya menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Panutan Hamka seperti hilang dan dia lebih banyak bermain dengan teman-temannya, menonton bioskop dan juga bermain sabung ayam.

Hamka adalah seorang yang sangat gemar membaca dan pandai berpidato. Dalam masa ini dia merantau ke Jawa untuk berguru ke tokoh nasional, balik lagi ke rumah untuk membantu dakwah ayahnya. Kemampuan dia pidato bisa menarik banyak orang. Sayangnya ada sedikit masalah lagi dengan ayahnya karena menurut ayahnya pidatonya hebat tapi tidak berisi.

Selain itu, dia juga ditolak mendaftar sebagai guru di sekolah Muhammadiyah dan seorang gadis yang sudah dijodohkan dengan dia akhirnya menikah dengan orang lain.

Dia akhirnya memutuskan untuk berkelana ke tanah Arab untuk naik haji dengan bantuan keuangan dari neneknya dan teman-temannya. Di Arab, pergaulan dia semakin luas. Pengalaman dia dengan orang Indonesia makin membuka mata. Dan pertemuannya dengan Agus Salim membuat dia memutuskan balik lagi ke Indonesia meskipun baru kurang dari setahun tinggal di tanah Arab.

Pada tahap kedua, kita akan memahami bagaimana Hamka berjuang untuk mendapatkan penghasilan dengan menulis di koran-koran mengenai pengalaman dia berhaji, menulis roman bersambung dan juga menerbitkan roman tersebut menjadi sebuah buku.

Kita akan menyelami kehidupan Hamka ketika dia menikah dengan Siti Raham, pun ketika dia merantau ke Makassar untuk membesarkan Muhammadiyah.

Pada akhirnya, dia menjadi pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat yang dia besarkan dari majalah dengan oplah kecil sampai menjadi majalah dengan oplah yang cukup besar. Sayangnya, Jepang datang dan membuat majalah ini gulung tikar.

Pada tahap tiga, kita menyorot kehidupan Hamka selama penjajahan jepang dan masa revolusi. Hamka adalah tokoh masyarakat. Ketika Jepang tahu dia adalah seorang tokoh dan juga sangat vokal tanpa takut, maka Jepang mengangkat dia jadi penasihatnya.

Meskipun tujuannya baik, yaitu untuk melindungi dakwah Muhammadiyah, banyak tokoh yang tidak senang dengan hal ini sehingga dia diturunkan sebagai ketua pengurus Muhammadiyah Medan setelah revolusi kemerdekaan dan Jepang hengkang.

Untungnya, kembali ke Padang Panjang, dia masih sangat dihormati dan diminta menjadi ketua Muhammadiyah di sana.

Pada tahun 1949, Hamka memutuskan pindah ke Jakarta dan memulai hidup dengan menulis dan berdakwah. Dia juga aktif berpolitik dengan menjadi pengurus Masyumi.

Dia juga menjadi salah pelopor pendirian masjid Al-Azhar. Inilah tahap keempat dari kehidupan Hamka.

Pada tahun 50-an, politik Indonesia cukup bergejolak dan PKI merupakan salah satu partai yang mendominasi. Partai ini cukup dekat dengan Sukarno.

Hamka sering mengkritik Sukarno lewat pidatonya. Puncaknya adalah ketika dia memuat tulisan pedas dari Bung Hatta yang dalam majalah Panjimas yang berjudul “Demokrasi Kita”. Hal ini membuat majalah ini dibredel. Hamka akhirnya fokus untuk kegiatan dakwah dan pendidikan di Masjid Al-Azhar.

Sayangnya fitnah dari kaum komunis datang bertubi-tubi. Dia dituduh plagiat. Syukurlah namanya berhasil dipulihkan. Sayangnya setelah itu, polisi berbaju preman datang ke rumahnya dan Hamka akhirnya menjadi tahanan politik.

Tahap kelima terjadi setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Hamka akhirnya bebas dari tahanan. Pada tahun 1970-an, dia didapuk sebagai ketua pertama MUI, sebuah wadah forum ulama lintas organisasi dan aliran, meskipun pada awalnya banyak yang menentang pembentukan MUI ini karena takut menjadi organisasi yang disetir oleh pemerintahan Suharto.

***

Banyak cerita-cerita menarik yang diungkap dalam Novel ini. Bagaimana perjuangan dia di Makkah, bagaimana dia mengira akan mati karena ada pesawat terbang Belanda terbang bolak-balik di sekitar dia ketika dia memimpin gerilya pada masa agresi militer, ataupun ketika dia diminta menjadi imam solat jenazah Bung Karno.

Membaca novel biografi Hamka ini membuat saya merasa dekat dengan beliau. Saya kira buku ini sangat cocok sebagai pengantar, terutama anak muda, untuk mengenal tokoh hebat ini. Sebelum masuk ke karya-karya dia yang lebih fenomenal seperti Tafsir Al-Qur’an yang banyak bagiannya di tulis ketika beliau dalam penjara. Selamat membaca.

--

--

Amir Harjo
Amir Harjo

Written by Amir Harjo

Hi, I am Amir Harjo. I like to read. I want to consistently write about things I am curious about. If you like my writing, please claps or comment.

No responses yet