The Day I Teach My Kid to Swear

Dalam buku How the World Add Up, Tim Harford membandingkan karakter antara dua ekonom paling terkenal di awal abad 20 yaitu antara Irving Fisher dan John Maynard Keynes. Irving Fisher adalah seorang yang sangat rewel mengenai kesehatan. Dia tidak minum alkohol, merokok, makan daging, minum kopi, teh, ataupun mengkonsumsi coklat. Di sisi sebaliknya John Maynard Keynes adalah orang yang sangat suka minum anggur, makanan enak, hidup bebas dengan banyak pasangan dan juga berjudi. Ke-kontrasan ini nantinya digunakan untuk membandingkan nasib mereka yang berbeda ketika terjadi The Great Depression pada awal tahun 1930-an.
Beda lagi dengan Malcolm Galdwell yang membandingkan antara dua tentara hebat pada perang dunia kedua dalam bukunya Bomber Mafia. Haywood Hansell dan Curtis LeMay memiliki sifat yang cukup berlawanan. Yang satu idealis, satunya lagi kasar, suka menyumpah dan pragmatis. Dan tentunya pendekatan mereka dalam perang dunia kedua memberikan hasil yang cukup berbeda.
Dalam dua cerita dengan karakter kontras di atas, orang yang lebih urakan, profane dan suka berkata kasar pada akhirnya menjadi orang yang berhasil melalui masa sulit. Fisher terlibat banyak utang setelah The Great Depression. Hansell sang idealis gagal melakukan precision bombing.
Tapi, dalam mendidik anak, tentu kita ingin memberi mereka contoh-contoh yang baik. Karakter yang kita ingin dekati tentunya lebih ke Hansell daripada LeMay. Salah satunya tentang berkata kasar. Kata-kata kasar jika sering muncul dalam percakapan, tentunya tidak enak didengar.
Dalam hal mengajari tidak berkata kasar, sepertinya kami cukup berhasil. Kedua anak kami suka self sensor. Bahkan menyebut hewan anjing dalam konteks normal diganti dengan kata “an..tiiiiiiit”.
Sayangnya kata-kata kotor dari orang tua (saya) lolos sensor ketika kami berkunjung ke Bali. Bulan Juni 2022 kami road trip ke Bali beberapa hari. Ternyata ke Bali melewati jalur darat memang jauh dan melelahkan. Perjalanan sejauh kira-kira 1200 km kami tempuh selama dua hari dengan sehari menginap di Surabaya.
Untungnya Bali memang pulau yang indah dengan infrastruktur yang sangat bagus. Jalanan, internet, tata kota dan area wisatanya terbangun dan tertata dengan baik.
Campuhan Ridge, yang terletak di Ubud, merupakan sebuah jalan setapak disepanjang punggung bukit Campuhan. Suasana hijaunya sangat memanjakan turis yang ingin melakukan short hiking. Dengan parkir yang luas dan gratis, tiap hari banyak turis asing maupun lokal yang mengunjungi tempat tersebut. Bisa dikatakan lebih dari 80% yang mengunjungi bukit Campuhan pada saat kami berkunjung adalah turis asing. Mereka hiking, jogging atau jalan-jalan dengan anjing mereka yang lucu. Celana anak saya sempat dijilati anjing dan dia teriak-teriak kecil.
Memang, di Bali hewan peliharaan yang dominan adalah anjing. Berbeda dengan di pulau Jawa dimana kucing adalah hewan yang dominan. Banyak anjing liar dan tak terurus berkeliaran di Bali. Bahkan selama kami di Ubud, kami hanya ketemu satu kucing yang tidur dengan manja di sebuah kedai kopi.
Suatu hari, setelah menyetir tiap hari dalam periode yang cukup lama, di daerah Gianyar, seekor anjing meloncat dengan tiba-tiba di jalan.
Dengan refleks saya teriak “Anjing….”.
Tentu saja anak saya kaget dan protes karena saya telah berkata kasar. Dalam permintaan maaf saya, saya berdalih bahwa hal itu terjadi karena kaget ada anjing melompat di jalan. Ini kejadian pertama kami memberi contoh kata kasar.
Monkey Forest merupakan salah satu destinasi wisata lain yang cukup terkenal di Ubud. Kebetulan letaknya cukup dekat dengan tempat kami menginap. Cukup 5 menit berjalan kaki.
Monyet-monyet di sana cukup aktif, bahkan berinteraksi dengan nakal dengan pengunjung. Seekor monyet menarik-narik tas saya dan ketika saya melawan, dia naik ke bahu saya. Untung ada Bli yang siap membantu agar monyet-monyet tidak terlalu mengganggu para turis.
Ngomong-ngomong tentang monyet, ternyata selama perjalanan dari Surabaya ke Ketapang, Bayuwangi, kami melewati hutan yang cukup lebat di daerah Baluran. Banyak monyet yang bekeliaran di pinggir jalan. Selama perjalanan pulang, kami baru sadar bahwa ratusan monyet yang bergerombol di pinggir jalan selama perjalanan Banyuwangi-Situbondo itu adalah monyet-monyet liar yang mengemis meminta makanan kepada mobil-mobil yang lewat.
Monyet-monyet itu dengan santai menunggu pengendara melemparkan makanan dari mobil.
Salah satu monyet tiba-tiba meloncat ke tengah jalan sambil bermain-main. Saya mengerem mendadak dan menurunkan kecepatan mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi.
“Monyet….” jeritku.
Anak saya protes karena saya telah berkata kasar. Dalam permintaan maaf saya, saya berdalih bahwa hal itu terjadi karena kaget ada monyet melompat di jalan.
Itulah hari, ketika saya mengajari anak saya berkata kasar.