Yang Terputus …

Amir Harjo
3 min readApr 16, 2024

--

Souce: Unsplash

“Generasi yang ada di masjid sekarang adalah generasi tua. Tidak ada generasi mudanya.” Begitulah kira-kira yang diutarakan oleh kakak saya sepulang dari solat Magrib di masjid kampung pada akhir Ramadhan lalu. Dia melihat bahwa saf, kebanyakan diisi oleh jamaah yang sudah berumur.

Kakak ipar saya dan saya sendiri sebenarnya mempunyai pandangan yang sama ketika sholat di masjid, bahwa dari 3 sampai 4 saf yang mengisi sholat berjamaah, kebanyakan memang para tokoh generasi yang sudah berumur. “Pengurus masjid kebanyakan sudah tua ya. Bahkan yang adzan dan imam kebanyakan yang mengurus adalah orang tua” kata kakak ipar saya.

Memang, ketika kakak saya remaja dan saya masih SD, aktivitas pemuda di kampung saya sedang giat-giatnya. Sering sekali para remaja kala itu mengadakan acara. Selain acara 17 Agustusan, acara lain bertema “kreativitas” menjadi salah satu acara yang ditunggu-tunggu. Para remaja akan membuat proposal. Mereka akan beredar kerumah-rumah layaknya door to door salesman untuk mempresentasikan proposal kegiatan sekaligus untuk meminta dukungan berupa dana. Para pengisi acara akan berlatih berhari-hari sebelum hari H.

Para hari H, panggung bangun, sound system disiapkan, pengisi acara berdandan dan semua orang satu dusun datang tumpah ruah untuk melihat anaknya atau tetangganya tampil bernyanyi, berjoget atau kreasi seni yang lain.

Tak kalah dengan kegiatan yang tampak “hedon”, kegiatan masjid juga hidup. Hampir tiap bulan ada pengajian di masjid. Setiap malam, kelompok anak-anak mengaji bersama, baik di masjid ataupun di rumah orang yang dianggap bisa mangajar mengaji.

Pada saat Ramadhan, para pemuda sangat sibuk mempersiapkan kegiatan sore hari di masjid sambil mengunggu buka puasa. Ada ceramah, ada cerita tentang Rasulullah dan sahabat-sahabanya, ada kegiatan ketika anak-anak kecil seusia SD diminta mengisi ceramah selama lima menit untuk mengasah public speaking. Akhir Ramadhan juga menjadi acara yang seru. Anak-anak akan turut serta membagikan zakat di dusun dan akan mendapatkan imbalan uang yang lumayan. Kemudian pada malam harinya, ada acara takbir keliling dimana anak-anak akan menyalakan obor, berkeliling sambil bertakbir, tidak lupa diisi dengan menyalakan petasan dan semburan api besar. Selesai takbir keliling, hidangan nasi megono sudah tersedia di masjid.

Nasi Megono (sumber: Wikipedia)

Tahun 94–95, ketika terjadi genosida di Bosnia, para remaja juga aktif menyuarakan isu ini. Remaja dusun kami bekerja sama dengan remaja dusun sebelah mengadakan acara menonton video kekejaman tentara Serbia ke saudara muslim kami di Bosnia.

Pagi itu, sepulang sholat Idul Fitri, saya bertemu dengan salah satu mantan tokoh pemuda. Mantan pemuda, karena kami sekarang sama-sama sudah tua. Komentar pertama dia ketika bertemu dengan saya adalah “ubanmu sekarang sudah banyak ya”.

Sambil berjalan pulang dia berkata “Sekarang pemuda sekarang tidak seaktif dulu. Ternyata melakukan regenerasi bukan hal yang mudah ya”.

Saya mengamini. Dimana tokoh-tokoh pemuda yang menjadi dahulu menjadi motor hidupnya kampung kami? Kebanyakan merantau ke Jakarta untuk mencari rezeki. Tidak ada yang salah dengan ini, toh setiap orang punya garis rezeki masing-masing.

Mungkin yang disesalkan para mantan aktivis remaja ini adalah tidak adanya regenerasi. Tidak adanya tokoh pemuda yang melanjutkan. Ada yang terputus. Dan efeknya terlihat puluhan tahun setelah setelah mereka pergi.

--

--